SISTEM POLITIK ISLAM
Dalam
terminologi politik Islam, politik itu identik dengan siasah, yang secara
kebahasaan artinya mengatur. Fikih siasah adalah aspek ajaran Islam yang
mengatur sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala
urusan dan tindakan (kebijakan, siasah, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
suatu negara, dan kebijakan suatu negara terhadap negara lain. Politik dapat
juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah. Dalam fikih siasah disebutkan bahwa garis besar fikih
siasah meliputi :
1. Siasah
Dusturiyyah (tata negara dalam islam)
2. Siasah
Dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara satu negara islam dengan
negara islam lain atau dengan negara sekuler lainya)
3. Siasah
Maaliyyah (sistem ekonomi negara)
Kedaulatan
berarti kekuasan tertinggi yang dapat mempersatukan kekuatan-kekuatan dan
aliran-aliran yang berbeda-beda di masyarakat. Dalam konsep islam, kekuasaan
tertinggi adalah Allah swt. Ekspresi kekuasaan dan kehendak Allah tertuang
dalam Alquran dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu penguasa tidaklah memiliki
kekuasaan mutlak, ia hanyalah wakil (khalifah) Allah di muka bumi yang
berfungsi untuk membumikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan nyata.
Disamping
itu, kekuasaan adalah amanah Allah yang diberikan kepada orang-orang yang
berhak memilikinya. Pemegang amanah haruslah menggunakan kekuasaan itu dengan
sebaik-baiknya, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang telah ditetapkan
Alquran dan Sunnah Rasul.
A.
Prinsip-prinsip Dasar Sistem
Politik Islam
Prinsip-prinsip
dasar siasah dalam Islam meliputi (1) Musyawarah (2) Pembahasan bersama, (3)
Tujuan bersama yaitu untuk mencapai suatu keputusan, (4) Keputusan itu
merupakan penyesuaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama, (5) Keadilan,
(6) Al Musaawah atau persamaan, (7) Al Hurriyyah (kemerdekaan/kebebasan), (8)
Perlindungan jiwa raga dan harta Masyarakat.
B.
Kepemimpinan dalam Sistem Politik
Islam
Imamah,
khalifat dan kepemipinan Umat Islam adalah kata-kata sinonim yang mempunyai satu
arti seperti yang ditulis oleh banyak ulama bahwa arti Imamah adalah memimpin
umat dalam agama dan dunia. Standar dalam kepemimpinan adalah demi kemaslahatan
dan mengatur umat serta menjaga agama dan politik dunia.
Terdapat
beberapa hal yang akan dibahas terkait dengan Imamah, sebagai berikut :
1. Kewajiban Mengangkat Pemimpin
Mayoritas ulama
mengatakan bahwa mengangkat pemimpin untuk mengurus umat hukumnya wajib.
Kewajiban ini bersandar atas beberapa alasan, pertama, konsensus sahabat atas
adanya figur seorang pemimpin, sehingga para sahabat mendahulukan pembaitan Abu
Bakar atas pemakanan Rasulullah saw. Kedua, bahwa menegakan hukuman dan benteng
kekuasaan akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib,
Ketiga, bahwa dalam kepemimpinan akan menarik kemanfaatan dan menolak kerusakan
dan ini hukumnya wajib berdasarkan dalil Ijma. Sebagian ulama Islam berpendapat
bahwa kewajiban tersebut berdasarkan pendekatan rasio dengan alasan bahwa
setiap umat pasti membutuhkan kekuatan untuk mengatur peraturan dan mengatur
individu, karena keberadaan seorang hakim merupakan kebutuhan kehidupan sosial
manusia. Kedua pendapat di atas dapat dikonklusikan dan mungkin dikompromikan,
karena tidak ada penghalang bahwa kepemimpinan merupakan tuntutan dan untuk
menegakan undang-undang serta melindungi individu maka hukum telah menetapkan
sebagai penguat atas tuntutan rasio, sehingga pendekatan rasio dan hokum
tentang kewajiban nengangkat pemimpin dapat dikompromikan, hanya saja akal
berperan sebagai penegak secara mutlak, sedangkan hukum mengantarkan idealisme yang tinggi,
sehingga dalam kepemimpinan akan menjadi kuat jika ada hubungan masyarakat dan
tidak ada unsur paksaan. Sedangkan yang dikehendaki hukum adalah mencapai
kehidupan individu yang sempurna sebagaimana yang dikehendaki akal. Ibnu
Khaldun berkomentar di dalam Kitab Muqaddimah “sebagaian manusia keliru, yang
mengatakan bahwa menegakan pemimpin adalah tidak wajib, baik menurut pendekatan
akal maupun hukum. Diantara mereka itu, al Asam dari kalangan Mutazilah dan
kalangan Khawilfij dan lain-lain. Menurut mereka bahwa yang wajib hanyalah
memberi informasi tentang hukum, dan bila umat sudah sadar atas keadilan dan
pelaksanaan Hukum Allah swt maka tidak butuh figure pemimpin dan tidak wajib
memilih pemimpin. Akan tetapi, pendapat itu masih ditentang dengan dasar Ijma,
Faktor yang mendorong mereka berpendapat seperti itu adalah penghindaran dari
kekuasaan dan Mazhabnya. Kesimpulanya adalah bahwa mayoritas ulama sepakat
bahwa umat islam wajib mempunyai Imam besar atas pemipim tinggi yang disetujui
dan mendapat dukungan umat manusia.
2.
Syarat-syarat
seorang pemimpin
Abu al Hasan al Mawardi berkata di dalam
Kitab al Ahkam al Sultaniyyah “orang yang menjadi pemimpin diisyaratkan memiliki tujuh syarat sebagai berikut :
Pertama, harus adil, Kedua ; berilmu dan mampu melakukan ijtihad, baik dalam
ayat maupun bidang hukum, Ketiga ; sempurna pendengaran, penglihatan dan
ucapannya, sehingga apa yang diketahui dapat ditangkap, Empat, sehat fisik,
sehingga mampu melaksanakan tugas dengan baik, Lima; pandai beragumentasi dalam
membina politik rakyat dan mengatur kemaslahatan, Enam, berani berjuang melawan
musuh, Tujuh; nasabnya harus dari orang Quraisy, berdasarkan nas dan ijma.
Sebagian ulama menyatakan bahwa syarat-syarat tersebut
hanya berlaku untuk kepemimpinan umum bagi umat Islam (khilafah), bukan kepemimpinan dalam berbagai jenjang.
3. Kedudukan Kepemimpinan dalam Pemerintahan Islam
Dalam ajaran Islam semua masalah yang
dihadapi umat harus di selesaikan dengan musyawarah, tidak boleh dimonopoli
oleh satu orang, dan kepeimimpinan tinggi harus diangkat oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.Pemimpin tinggi yang berkedudukan di pemerintahan Islam adalah sebagai
pejabat tinggi negara disetiap negara yang berdasarkan undang undang. Karena
kekuasaan presiden berasa di tangan rakyat lewat Dewan Perwakilan Rakyat, dan
kekuasaan ini harus mendapat dukungan rakyat dan kebijaksanaan seorang presiden
harus bermanfaat bagi rakyat, maka ulama menetapkan bahwa rakyat berhak memecat
presiden karena ada sebab yang menghendakinya. Dan bila terjadi fitnah, maka
presiden harus mencari jalan keluar yang terbaik dan orang yang paling
bertanggungjawab, supaya masalahnya bisa lurus. Dia bisa diberhentikan jika
melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugas. Abu bakar, khalifah pertama,
pernah berpidato dalam khutbahnya “wahai manusia sesungguhnya kami memimpin
kalian, padahal kami bukan terbaik darimu, bila kami baik bantulah kami, bila
kami menyimpang, maka luruskanlah”. Dalam penutup khutbahnya dia berkata
“tatatlah kepadaku, selama kami taat kepada Allah awt dan Rasul-Nya.Bila kami
durhaka kepada Allah swt maka tidak ada taat kepadaku bagi kalian“, Abu bakar
juga meriwayatkan pidato umar dan Usman untuk memperkuat imam rakyat dan atas
kekuasaan serta pertanggungjawaban di hadapan rakyat. Sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam memerntah berdasarkan undang-undang, Khilafah
memimpin urusan agama dan dunia, termasuk pula kekuasaan masalah politik
negara, seorang Khalifah juga menjadi imam shalat, amir al haj, member
rekomendasi syiar di masjid dan kutbah pada masjid maupun saat hari raya. Dan
lain-lain urusan agama. Khalifah merangkap jabatan dengan tujuan utama
menegakan sendi-sendi agama dan politik dunia. Dia harus kreatif dalam mengatur
urusan agama dan dunia. Dan semua urusan agama dan dunia. Dan semua urusan
kesejahteraan rakyat, kesejahteraan adalah tujuan paling utama sehubungan
dengan penganngkatan seorang khalifah. Dalam islam tugas khalifah berkaitan
dengan kebahagiaan manusia di dunia. Ada Kekuasaan seorang khalifah dalam
urusan agama tidak ada hubunganya dengan sifat ketuhanan atau kekuasaannya yang
bersandar dari kekuasan ghaib. Akan tetapi hal itu merupakan usaha sekelompok
umat Islam yang dipercaya untuk menjaga agama dan politik dunia sehingga mereka
mengangkat khalifah demi kesjahteraan kehidupan manusia. Maka wajib bagi rakyat
untuk mendengarkan dan taat kepada khalifah.
C.
Politik Keuangan dalam Islam
Yang
dimaksud politik keuangan bagi suatu Negara adalah pengaturan sumber-sumber
pemasukan dan pendayagunaan keuangan untuk memenuhi pembiayaan kepentingan
umum, tanpa harus mengorbankan kepentingan individu atau kepentingan yang
sifatnya khusus. Penggunaan keuangan bisa adil apabila memenuhi dua hal :
1.
Harus memperhatikan dan menjaga prinsip
keadilan dan asas persamaan dalam memperoleh pamasukan keuangan negara, artinya
negara tidak boleh menuntut seseorang membayar kepada negara melebihi dari apa
yang ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku, selain itu, Negara tidak boleh
menetapkan dan mewajibakan seseorang untuk membayar kepada negara melebihi dari
kemampuan yang dimiliki orang tersebut. Ataupun melebihi dari kebutuhan yang
diperlukan negara.
2.
Dalam membagi-bagikan sumber keuangan
Negara harus memperhatikan semua kemaslahatan Negara yang diukur dari segi
kepentinganya, yaitu tidak boleh memprioritaskan suatu masalah, tanpa
memperhatikan kemaslahatan lainya. Kecuali itu, negara tidak boleh mementingkan
bagian yang satu lebih daripada bagian yang lainya. Adapun sumber keuangan
isalam yang berfungsi untuk memenuhi pembelanjaan kepentingan umum,
adalah sebagai berikut :
a. Zakat,
baik yang dikenakan terhadap harta, modal perdagangan, binatang ternak, tanaman
atau buahbuahan.
b. Pajak
tanah pertanian, baik tanah yang dikeoola oleh non muslim, tanah yang disirami
air hujan ataupun tanah yang disirami dengan mengeluarkan biaya, seperti
irigasi.
c. Pajak
perorangan yang diambil dari ahli al kitab (yahudi dan nasrani), yang disebut
jizyah
d. Bea
cukai (pajak) yang diambil dari barang-barang yang diimpor ke negara Islam dan
barang-barang yang dieskpor ke negara Islam. Seperlima dari harta rampasan
perang dan seperlima dari harta terpendam, maupun harta temuan.
e. Harta
pusaka orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya
yang hanya suami atau istri, harta yang tidak diketahui pemiliknya dan semua
harta yang digunakan untuk kepentingan umat islam.
Itulah
sumber-sumber keuangan Islam yang telah ditetapkan dasar hukumnya di dalam Al
quran dan Hadis. Namun ada sebagian sumber lain yang ditetapkan berdasarkan
ijtihad pada sahabat pada masa permulaan Islam.
D.
Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri
dalam Islam
Menurut
Ali Anwar (2002:195), ada beberapa prinsip politik luar negeri dalam Islam
yaitu :
1. Saling
menghormati fakta-fakta dan tarikat-tarikat (Q.S 8:58, 9:4, 16: 91, 17:34)
2. Kehormatan
dan integrasi nasional (Q.S 16:92)
3. Keadilan
universal/internasional (Q.S 5:8)
4. Menjaga
perdamaian abadi (Q.S 5:61)
5. Menjaga
kenetralan negara-negara lain (Q.S 4:89-90)
6. Larangan
terhadap eksploitasi para imperialis (QS.6:92)
7. Memberikan
perlindungan dan dukungan kepada orang-orang Islam yang hidup di negara lain
(QS.8:72)
8. Bersahabat
dengan kekuasaan-kekuasaan netral (Q.S 60:8-9)
9. Kehormatan
dalam hubungan internasional (QS.55:60)
10. Persamaan
keadilan untuk para penyerang (QS.2:195, 16:126, 42:40)
E.
Kontribusi Umat Islam terhadap
kehidupan Politik di Indonesia
Islam
sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di
Indonesia. Sebagaimana di
bidang lain, kaum Muslimin telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
Indonesia, tak terkecuali di bidang politik.
a. Di era kerajaan-kerajaan Islam, ditandai dengan
berdirinya berbagai macam kesultanan di
berbagai wilayah Indonesia. Di Sumatera ada Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad
ke-13), Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16), Kesultanan Malaka
(abad ke-14 - abad ke-17) dan Kerajaan Melayu Jambi.
Di Jawa:
Kesultanan Demak (1500 - 1550), Kesultanan Banten (1524 - 1813), Kesultanan
Pajang (1568 - 1618), Kesultanan Mataram (1586 - 1755), Kesultanan Cirebon
(sekitar abad ke-16).
Di Kalimantan:
Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Pontianak
(1771), Kerajaan Tidung, Kesultanan Bulungan(1731).
Di Maluku:
Kesultanan Ternate (1257 - 1583), Kesultanan Tidore (1110 - 1947) Kesultanan Jailolo, Kesultanan Bacan,
Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682).
Di Sulawesi:
Kesultanan Gowa (awal abad ke-16 - 1667), Kesultanan Buton (1332 - 1911) dan
Kesultanan Bone (abad 17).
b.
Di
era kolonialisme atau masa penjajahan. Hal ini ditandai dengan perjuangan para
santri melawan penjajah. Terdapat nama seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Cut Nyak Dhien dan lainnya. Umat Islamlah yang sangat berperan
dalam mempertahana negeri ini dari kungkungan penjajah.
c.
Di
era setelah kemerdekaan di Masa Orde Lama. Hal ini ditandai
dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis berbasis
umat islam dan kedua dengan ditandai sikap pro aktif tokoh-tokoh politik islam
dan umat islam terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, sejak
proses awal kemerdekaan sampai jaman reformasi. Berkaitan dengan keutuhan
negara, misalnya Muhammad Natsir pernah menyerukan umat Islam agar tidak mempertentangkan
Pancasila dengan Islam.
d.
Di
era Orde Baru ditandai dengan keterlibatan umat Islam dalam berpolitik melalui
berbagai partai. Meski di era 1970-awal 1990, peran umat Islam sedikit
termarjinalkan oleh Orde Baru, tapi berbagai prestasi sudah ditorehkan dengan
lahirnya berbagai kebijakan yang berpihak pada penerapan nilai-nilai Islam.
e.
Di
era Reformasi. Tumbangnya Orde Baru tak mungkin dilepaskan dengan kontribusi
umat Islam. Kaum Musliminlah yang menarik gerbong reformasi. Hadirnya berbagai
tokoh dari kalangan Islam menandai hal itu. Selain dari ormas besar seperti Amin Rais (Muhammadiyah) dan
Abdurahman Wahid (NU), juga dari kalangan anak-anak muda seperti KAMMI, BEM-BEM
berbagai Perguruan Tinggi yang mayoritas digerakkan oleh aktivis-aktivis Islam.
Sulit dibayangkan reformasi akan bergulir jika tidak didukung umat Islam.
Mengapa umat Islam menerima Pancasila?
Dalam
pandangan islam, perumusan Pancasila bukan merupakan sesuatu yang bertentangan
dengan ajaran Al qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila juga
merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam al qur’an. Demi keutuhan
persatuan dan kesatuan bangsa, umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari
sila pertama pancasila yaitu kata-kata “kewajiban melaksanakan syariat islam
bagi para pemeluknya.”
Umat Islam Indonesia dapat menyetujui Pancasila dan
UUD 1945 setidak-tidaknya atas dua pertimbangan. Pertama. Nilai-nilainya
dibenarkan oleh ajaran agama Islam. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah kesepakatan antar
berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama. Umat Islam mengedepankan keutuhan NKRI dan tak
menginginkan perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar